December 13, 2021

Karnak Cafe: Prahara Politik Mesir dan Gerakan Pemuda dari Kafe

Penulis     : Najib Mahfudz 

Penerbit   : Pustaka Alvabet, 2008

Genre     : Politik, Sejarah Mesir, Revolusi Mesir 1952, Perang Arab-Israel 1967


“Musuh orang Arab yang paling berbahaya adalah diri mereka sendiri” 

“Para penguasa mereka, maksudmu.” 

“Maksudku, barangkali lebih pada semua sistem pemerintahannya.” 

“Segalanya tergantung pada apakah orang Arab mampu bekerja sama sebagai satu kesatuan.”


Ringkasan

Buku ini terdiri dari enam bab di mana empat bab pertama masing-masing menceritakan empat tokoh utama dari sudut pandang “Aku”, si pengunjung kafe. Keempat tokoh ini adalah Qurunfula, Ismail al-Syekh, Zainab Diyab, dan Khalid Safwan. Sedangkan dua bab terakhir adalah kata penutup dari Roger Allen, seorang akademisi Inggris jurusan sastra Arab, dan biografi penulis. 

Cerita berawal dari kunjungan “Aku” ke Kafe Karnak di Jalan al-Mahdi, Mesir karena tertarik pada perempuan sang pemilik Kafe, Qurunfula. Qurunfula adalah mantan penari era 1940-an yang tetap mempesona banyak orang untuk berkunjung ke kafe itu. Namun tidak hanya pesona Qurunfula, minuman di kafe itu pun enak sehingga banyak pemilik kedai di jalan itu juga menjadi pelanggan Kafe Karnak. 

Kafe itu juga terkenal menjadi tempat berkumpulnya para ekstremis dan provokatif, yang sebagian besar adalah pemuda-pemudi Mesir, di antaranya adalah Ismail al-Syekh, Zainab Diyab, dan Hilmi Hamada. Tokoh “Aku” menjadi pelanggan regular di kafe tersebut dan kemudian berteman dengan pengunjung kafe serta larut dalam diskusi-diskusi politik Mesir. 

Meskipun sarat dengan nuansa politik, cerita juga mengisahkan latar belakang sosial-budaya para pengunjung, pemilik hingga pekerja di kafe. Terselip juga kisah cinta Qurunfula dengan Hilmi Hamada yang terpaut usia jauh, serta Ismail al-Syekh dengan Zainab Diyab yang akhirnya bagaikan orang asing karena trauma penangkapan mereka oleh pihak otoriter saat itu. 

Kondisi Mesir kala 1960-an sangat tegang di mana masyarakat selalu dipantau gerak-geriknya dan ketegangan ini mencapai puncaknya pada 1967 yang dikenal dengan Perang Enam Hari, yaitu perang Israel dengan tiga negara Arab lainnya yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah. 


Tentang Najib Mahfudz

Najib Mahfudz (1911 – 2006) adalah sastrawan Mesir peraih nobel sastra 1988. Revolusi pada 1952 menjadi peristiwa sangat penting dalam perubahan pemerintahan Mesir. Revolusi ini awalnya bertujuan untuk melengserkan Raja Farouk dan menjadi tonggak perubahan bentuk negara yang sebelumnya kerajaan menjadi republik di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser. 

Najib bahkan sudah menulis novel sebelum Revolusi 1952 dan sempat vakum selama beberapa tahun setelah Revolusi. Ia kemudian kembali menulis hingga menghasilkan 40 karya novel dan ratusan cerpen. Pandangan sosial-politik Najib banyak mempengaruhi hasil karyanya. 


Ulasan

Ini adalah pertama kalinya saya membaca novel karya penulis Mesir. Sebagai novel yang sarat dengan nuansa politik, juga sosial dan budaya, menurut saya novel ini agak “tanggung”. Memang kisahnya dituturkan oleh “Aku”, yang hanya sebagai pengunjung kafe, bukan pelaku gerakan pemuda itu sendiri. Alhasil kisah tokoh-tokohnya bisa dikatakan digambarkan secara sekilas dan terpotong-potong melalui pandangan pribadi tokoh “Aku” serta pembicaraan singkatnya dengan ketiga tokoh pemuda di atas. 

Novel ini memang cukup tipis dengan 180 halaman sudah termasuk kata penutup dan biografi penulis, sehingga memang saya tidak dapat larut dalam intrik dan emosi mendalam tokoh-tokohnya. Namun novel ini menjadi tidak begitu “berat” untuk mendapatkan sekelumit nuansa politik Mesir pada masa itu. 

Di novel ini Najib juga menggambarkan generasi senior yang ketika dihadapi kenyataan saat ini sering mengenang dan membandingkannya dengan kejayaan masa lalu. 

“Mereka kembali ke masa lalu yang jauh dan lebih jauh lagi, sampai selanjutnya mereka berhenti pada suatu masa pada abad ketujuh, pada masa Khalifah Umar bin Khattab dan masa Rasulullah SAW. Mereka berlomba satu sama lain mengungkit masa lalu, mencobat sekuat tenaga menggunakan kemegahan masa lalu sebagai upaya melupakan masa depan.”

Najib juga menyisipkan pandangannya tentang perang 1967 yang sebenarnya tidak hanya melawan Israel tapi juga perang antar negara Arab itu sendiri. 

“Perang Juni 1967 adalah kekalahan salah satu negara Arab, namun juga kemenangan bagi negara Arab lainnya. Peristiwa itu telah membuka selubung pelbagai kenyataan akan kebencian selama ini, sekaligus membawa perang besar antara negara Arab itu sendiri, bukan hanya antara Arab dan Israel.”

0 Comments:

Post a Comment